“Ibu aku ingin sekali melihat kembang api yang sebenarnya. Aku ingin ibu.”
“Nak kembang api yang telah kamu lihat itulah kembang api yang sebenarnya.”
“Bukan! Ibu salah! Aku melihat dari televisi di rumah pak erte waktu itu, sangat besar sekali, dan berwarna-warni. Sangat berbeda dengan yang aku lihat selama ini bu.”
Ibu terdiam. Seakan ucapannya benar-benar salah. Ya, aku sangat ingin sekali melihat kembang api seperti yang ada dalam televisi pak erte waktu aku kerumahnya, menemani Agus yang sedang meminta permohonan surat pindah rumah. Teman sejak kecilku itu akan pindah ke kota setelah dia dan keluarganya mendapatkan warisan dari kakeknya yang telah meninggal. Betapa beruntungnya Agus, aku sangat iri padanya. Seringkali terlintas dalam pikiranku, mengapa aku dilahirkan dalam keluarga yang sangat miskin? Ayahku hanya seorang buruh tani musiman, ibuku bekerja apa saja yang bisa ia kerjakan, aku juga mempunyai tiga orang adik-adik yang masih sangat kecil, si kembar Ria dan Rina, dan satu lagi jagoan kecil, Dimas. Rumahku? Jangan tanya soal itu, tempat tinggalku tidak pantas dikatakan sebagai rumah tapi sebuah kandang ternak. Ah… aku menyesal dengan keadaanku sekarang.
Aku pernah menceritakan keadaanku yang miskin dan penuh penderitaan ini pada Agus, dia berkata
“Di, ibu dan ayahmu itu bekerja untuk kamu dan adikmu, seharusnya kamu berterimakasih padanya!”
Aku berpikir dapat kalimat dari mana dia untuk menasehatiku, apalagi dia sebaya denganku, berumur 10 tahun. Aku sendiri hanya bisa diam menanggapinya. Tapi yang pasti aku tidak suka dia berkata seperti itu, pasti dia telah sombong karena dia akan pindah ke kota.
“Ibu. Kenapa ibu diam saja?” aku membuyarkan ibu dari diamnya.
“Ibu hanya berpikir, bagaimana mungkin kamu akan melihat kembang api yang seperti kamu lihat di televisi pak erte, nak?”
“Caranya mudah bu. Ibu tinggal membawaku ke kota dan kita akan melihat kembang api itu.”
“Ke kota? Dapat uang dari mana kita akan ke kota nak? Sudahlah, kamu pendam dulu cita-cita mu untuk melihat kembang api yang sebenarnya itu!” Ibu terlihat sangat marah sekali padaku, dan beranjak menuju dapur. Sekarang giliran aku yang terdiam, dalam hati aku bertanya, kapan aku akan melihat kembang api yang besar dan berwarna-warni itu? Kapan? Tak terasa air mata jatuh dari kelopak mataku.
***
Tahun berganti tahun. Tak terasa kini aku sudah menjadi seorang pemuda yang sangat kuat. Ayahku telah meninggal setahun yang lalu, akibat sakit yang dideranya. Akhirnya akulah yang mencari nafkah untuk kehidupan kami sehari-hari, dan juga untuk sekolah ketiga orang adikku.
Persahabatanku dengan Agus pun juga masih berjalan, walaupun dia telah sukses disana, tapi dia tak pernah lupa akan sahabat dan kampung halamannya. Kami tetap memberikan kabar lewat surat, meski aku buta huruf aku tetap setia membalas surat-suratnya itu dengan bantuan adik-adikku. Mereka tak pernah lelah membantuku menuliskan suratnya untuk Agus, membacakan surat dari Agus, bahkan adik-adikku itu juga mengirimnya ke kantor pos di desa sebelah.
Dalam setiap surat yang Agus kirimkan padaku dari tahun pertamanya di kota hingga sekarang, ada satu yang terus membuatku iri, yaitu dia bercerita tentang kembang api yang besar dan berwarna-warni seperti yang ada di televisi pak erte pada setiap acara tahun baru di kotanya. Ya… cita-citaku untuk melihat kembang api yang besar dan berwarna-warni itu tak pernah aku hilangkan dari pikiranku. Sepertinya sudah saatnya aku pergi ke kota untuk melihatnya, apalagi sekarang adalah akhir tahun, pasti di kota Agus ada kembang api yang besar dan berwarna-warni itu. Aku harus kesana!
“Tidak, ibu tidak mengijinkan kamu pergi ke kota hanya untuk melihat kembang api!” ibu berkata sambil mengaduk nasi yang ditanaknya, di atas tungku api yang besar.
“Tapi ibu ini kesempatanku untuk melihat kembang api yang besar itu. Ini adalah cita-citaku.” Balasku. Ibu menoleh padaku lalu berkata lagi
“Itu bukan cita-cita, tapi obsesi mu yang belum terwujud. Mana mungkin, kamu seorang pemuda berumur 20 tahun mempunyai cita-cita melihat kembang api, nak?”
“Terserah ibu mau mengatakan apa, tapi yang pasti aku akan pergi ke kota untuk melihat kembang api itu.” Aku pergi meninggalkan ibu menuju kamarku untuk berkemas membawa apapun yang diperlukan. Entah setan apa yang membisikan telingaku untuk tetap pergi walau tanpa ijin dari ibu.
Tiba-tiba ibu masuk dalam kamarku yang sempit, membantuku berkemas, aku terpaku melihatnya, kemudian ibu berkata
“Ibu tetap tak mengijinkanmu, tapi jika kamu tetap bersikeras untuk pergi, ibu mau tak mau mengijinkanmu.” Air mengalir di pipi ibu yang telah keriput itu. Aku memeluknya.
“Terimakasih ibu. Aku tak akan lama disana, doakan anakmu selamat.”
Ibu menyelipkan beberapa lembar uang di tanganku, lalu berlalu, keluar dari kamarku menuju kamarnya. Kembali aku hanya diam menatapnya.
Adik-adikku yang telah menunggu di halaman rumah, melepas kepergianku seakan menuju kemedan perang.
“Mas Adi hati-hati ya.” Ujar si kembar berbarengan.
Aku menggangguk.
“Nanti setelah melihat kembang api yang besar dan berwarna-warni itu, mas harus segera pulang. Kami akan menunggu cerita mas Adi tentang kembang api itu.” Dimas pun juga berkata.
“Iya, mas akan segera pulang, dan akan membawa kalian cerita serta oleh-oleh.”
“Kami tak mau oleh-oleh mas, yang kami inginkan hanya keselamatan mas kembali pulang kerumah.”
Aku terharu. Ku peluki satu persatu tubuh mereka, lalu pergi meninggalkan ibu, adik-adikku, dan rumah yang bertahun-tahun aku tempati.
***
Dengan bermodalkan uang dari ibu yang tak seberapa, dan motor pinjaman dari mas Galih, dengan jaminan oleh-oleh dari kota akhirnya aku sampai juga di kota, tempat tinggal Agus itu. Udara yang sangat panas membuatku membeli sebotol air mineral. Aku terduduk di sebuah warung, tempat aku membeli minuman. Bagaimana mungkin aku mengunjungi rumah Agus, alamatnya saja aku tak tahu. Memang aku membawa alamatnya, dari sebuah robekan kertas amplop yang dikirim oleh Agus, tapi membaca saja aku tidak bisa.
Tiba-tiba seorang lelaki paruh baya medekatiku.
“Ada masalah?”
“I…Iya pak.”
“Masalah apa yang kamu hadapi, nak? Bolehkah bapak tau?”
Aku pun mulai menceritakan dari awal dimana keinginanku datang ke kota ini hanya untuk melihat kembang api yang besar dan berwarna-warni. Bapak itu tertawa, seakan menertawai keinginanku melihat kembang api. Dia pun melihat wajah tidak sukaku karena dia menertawakannya.
“Oh…maaf, maaf. Aku hanya bingung, ternyata di dunia ini masih ada orang yang belum melihat kembang api yang besar. Hingga ia nekat pergi dari kampungnya hanya untuk melihat kembang api itu. Aku benar-benar tak menyangka.”
“Apakah salah jika saya belum melihat kembang api yang besar itu?”
“Tidak. Tentu tidak. Itu bukan kesalahan, tapi obsesi kecilmu, yang bisa diwujudkan ketika kamu dewasa. Lalu apa yang akan kamu dapatkan setelah melihat kembang api itu?”
“Kepuasan.” Jawabku tegas.
“Kepuasan batin. Karena selama ini aku tak pernah mendapatkan sebuah kepuasan. Dengan melihat kembang api itu rasanya beban yang ada dalam pundak ku ini hilang.” Aku melanjutkan.
“Kamu benar-benar ingin melihat kembang api itu?”
“Iya! Buat apa aku datang kemari, jika tidak dapat melihat kembang api itu.”
“Baiklah, kamu bisa melihatnya, tapi baru nanti malam kamu akan melihatnya, tepat jam 12. Datanglah di alun-alun kota, kamu tinggal terus saja melewati jalan ini, dan kamu akan sampai di alun-alun yang ramai. Di situlah acara tahun baru digelar, dan kamu akan melihat kembang api yang besar dan berwarna-warni itu.” Bapak itu menjelaskan dan juga menunjuk kearah jalan besar. Jalan menuju alun-alun.
“Terimakasih pak. Saya akan segera kesana.” Aku menjabat tangan bapak itu, dan langsung segera pergi menuju alun-alun.
Sesampainya disana keadaan masih sepi, terlihat panggung yang sangat besar telah berdiri di tempat itu, mungkin akan digunakan untuk pertunjukkan musik nanti malam. Jam 12? Masih sangat lama, pikirku. Itu sama saja aku menunggu bertahun-tahun lamanya. Tapi tak apalah, demi melihat kembang api yang besar dan berwarna-warni itu aku akan menunggunya. Sambil menunggu waktu malam, aku akan tidur dulu, melepas lelahku, dari perjalanan yang jauh. Aku melihat pohon yang sangat rindang, aku pun tidur di pohon itu, ditemani semilir angin yang sejuk.
Entah telah jam berapa aku bangun dari tidurku. Suasananya benar-benar sangat ramai. Terdengar orang-orang disana mngucapkan angka.
“Lima belas, empat belas, tiga belas….”
“Oh, tidak? Dimana motorku? Motor pinjaman dari mas Galih, dengan jaminan oleh-oleh yang akan aku bawa. Dimana motor itu? Bukankah tadi aku letakkan dekat pohon ini.”
“Sepuluh, sembilan..”
“Aduh, harus berkata apa nantinya pada mas Galih? Harus ku ganti dengan apa?”
Aku berlari ke tengah jalan raya, mataku menyapu seluruh daerah itu, mungkin saja aku lupa meletakkannya, tapi daerah itu benar-benar sangat ramai.
“Lima, empat, tiga, dua…”
“Toooooooeeeeeeeeeettttttttttt… SELAMAT TAHUN BARUUUUUUUUU…”
Aku terpana melihat kembang api raksasa bagaikan payung, menghiasi langit alun-alun kota malam ini. Aku tersenyum, tanpa sadar sebuah sedan hitam dengan moncongnya yang mengkilap, menyentuhku dengan sangat keras.
“Braaaak…”
Aku jatuh, tubuhku lunglai, terasa sesuatu mengalir deras dari kepala ku, namun aku masih bisa melihat kembang api besar dan berwarna-warni, samar-samar aku melihatnya, redup, lalu tiba-tiba gelap kemudian hitam, terlihat bayangan ibu di desa, dengan berteriak-teriak memanggil namaku.***
Balikpapan, di awal tahun yang mendung.
(Kupersembahkan untuk seseorang yang tak bisa
melihat kembang api bersama ku.)
waaaw....,,, pengalaman pribadi? hehe
mas galih tu tokoh asik yak..hihihihii
galih..galih..heheheh
andai kita bisa bersama...
andai tak ada rasa takut...
andai ada keberanian...
andai malam kita habiskan...
andai........................
masi ada taun-taun depan....
postingin lg ya crita2 yg laen...!!!!!!!!!!!!!!!11