Rss Feed



  1. Kebudayaan adalah hasil dari akal, pikiran manusia dalam berbagai bentuk seperti kepercayaan, kesenian, atau adat istiadat lingkungan. Dengan kebudayaan  kita belajar banyak hal, belajar bagaimana mengenal karakter sesama manusia, memperluas wawasan dengan kualitas yang baik. Itu yang didapatkan seorang wanita kelahiran Makasar Sulawesi, Anggi Minarni. Seorang tokoh penggiat kebudayaan Jogja yang juga direktur lembaga kebudayaan Karta Pustaka.


    Baginya, kebudayaan adalah jiwanya, memperkaya diri sendiri sebagai manusia, mengenal dunia jauh lebih efektif melalui budaya. Bahkan dalam menilai sesuatu melalui sudut pandang dari kebudayaan maka muncul semangat untuk menghargai perbedaan. Anggi berpendapat, bentuk budaya itu adalah dari dulu, sekarang, dan yang akan datang. Dulu menjadi ciri khas yang menjadi identitas yang harus dipelihara. Sekarang kita menyiapkan untuk masa depan, maka kekayaan budaya sekarang akan menjadi pusaka di kemudian hari.

    Anggi sangat menikmati perannya sebagai pelestari pusaka budaya. Apalagi setelah menjabat sebagai direktur Karta Pustaka, Anggi makin memahami konsep pelestarian budaya. Ini dilihat dari pemilihan bangunan-bangunan kantor Karta Pustaka yang kesemuanya adalah bangunan tua, atau bangunan peninggalan kolonial.

    Adapun alasan pemilihan bangunan tersebut adalah adanya kebutuhan ruang besar untuk menyimpan koleksi buku dan majalah yang mencapai 10.000 judul, lalu alasan kedua adalah untuk mengkonservasi bangunan-bangunan tua itu. Bangunan yang digunakan dikonservasi, sehingga masyarakat tidak melihat bangunan tua sebagai beban tetapi melihat bangunan itu sebagai fungsi baru dengan menampilkan segala keistimewaannya sebagai pusaka budaya.

    Karta Pustaka memiliki tiga visi, mempererat persahabatan Indonesia-Belanda melalui budaya, mendukung kegiatan pendidikan masyarakat melalui budaya, dan terakhir mendorong upaya-upaya pelestarian pusaka budaya. Salah satu bangunan yang pernah dipilih Karta Pustaka sebagai kantor dan tempat kegiatan adalah di Kawasan Bintaran Tengah.
     
    Bangunan tersebut telah 10 tahun ditinggalkan kemudian direnovasi dan sekarang menjadi cagar budaya kota Jogja. Lingkungan sekitar akhirnya ikut terdorong untuk bersama-sama merawat pusaka budaya itu, maka Karta Pustaka juga diharapkan memberi inspirasi masyarakat sekitar.

    Anggi dan teman-temannya mulai menyesuaikan situasi, sesuai dengan peta lembaga kebudayaan yang ada di Jogja. Misalnya ketika kini banyak galeri seni bermunculan, maka Karta Pustaka mengurangi tugas mendukung seniman lukis. Jogja sendiri memiliki banyak sekolah musik, namun Karta Pustaka konsisten untuk memilih musik klasik dan jazz sebab di Jogja belum ada wadah untuk menaungi musisi klasik dan jazz mengekspresikan karya mereka di depan publik.

    Maka Karta Pustaka memberikan ruang bagi musisi-musisi itu untuk melakukan konser, setiap konser yang ada selalu disertai workshop dan diskusi sehingga ada ilmu yang dibagikan, “jadi tak hanya sekedar konser, tapi harus ada pembelajaran didalamnya,” ungkap Anggi.

    Cara lain Anggi untuk membangun kesadaran publik akan pentingnya pelestarian pusaka budaya, adalah dengan mendirikan organisasi budaya Jogja Heritage Society (JHS) pada tahun 2000, bersama teman-temannya yang juga penggiat budaya melakukan inventarisasi pusaka budaya di dua kelurahan di Kota Gede, untuk menggali kembali pusaka budaya di wilayah itu. Kemudian sejak saat itu menggelar heritage week yang diselenggarakan di panggung Krapyak.

    JHS pernah melakukan kerja sama dengan organisasi pelestarian budaya dari Belanda, untuk membuat pelatihan bagi guru SD mengenai pendidikan pusaka budaya yang nantinya akan diajarkan kembali untuk siswa SD. Kemudian, guru-guru yang mendapatkan pelatihan didorong untuk menulis buku mengenai keragaman pusaka budaya. 

    Masing-masing mereka menulis pusaka budaya seperti sejarah Selokan Mataram, sejarah kawasan Kotabaru, mengenai bakpia yang menjadi ikon Jogja, serta mengenai perabotan anyaman yang berada di kabupaten Kulonprogo. 

    Selain melestarikan pusaka budaya sendiri, Anggi juga turut aktif dalam kegiatan melestarikan dan menggali kebudayaan Tionghoa yang ada di Jogja. Baginya kebudayaan itu adalah milik bersama, budaya manapun yang masuk ke Indonesia yang sudah mengalami akulturasi adalah bagian dari budaya kita juga.

    Bersama seniman Didi Ninik Thowok, Anggi menjadi bagian dari tim untuk mendesain event tahunan dari kebudayaan Tionghoa. Seperti pekan budaya Tionghoa di kampung Ketandan, pada tahun baru imlek. Setiap tahunnya ada tiga event kebudayaan Tionghoa, selain pekan budaya, juga ada perayaan Pek Cun yang tahun ini diselenggarakan di pantai Parangtritis, kemudian ada Moon Cake Festival yang tahun ini jatuh tepat di bulan September pada tanggal 19 nanti.

    Kegiatan budaya Tionghoa tersebut untuk memperkenalkan kepada semua orang, juga kepada generasi muda keturunan Tionghoa bagaimana budaya Cina itu sendiri. Di sisi lain untuk menjaga keragaman budaya yang ada di Jogja. “Budaya-budaya yang masuk ke Jogja sendiri justru memperkaya Jogja, sehingga Jogja menjadi seperti sekarang ini,” imbuhnya.

    Rencana kedepan, Anggi masih akan terus mengupayakan pelestarian. Proyek selanjutnya, ia dan teman-teman akan bekerjasama dengan pemerintah provinsi Jogja untuk menyiapkan Museum Sonobudoyo sebagai museum bertaraf internasional. Mengapa memilih Sonobudoyo, sebab museum ini merupakan museum terbesar di provinsi Jogja, dan memiliki banyak koleksi. “Itulah bukti intelek peradaban kita yang harus dijaga dan dilestarikan,” tambah Anggi. Diharapkan, rencana ini dapat mengubah anggapan, bahwa museum bukan lagi sebagai tempat menyimpan benda-benda kuno.



    Karir
    Dari Mayoret Hingga Direktur


    Ayahnya yang seorang perwira Angkatan Laut membuatnya harus hidup berpindah-pindah dari kota ke kota. Lahir di Makasar, sempat hidup beberapa tahun di kota kelahiran sang ibu, Manado. Terakhir, Surabaya menjadi kota dimana Anggi dibesarkan hingga mengenyam pendidikan sampai SMU.


    Sejak kecil Anggi memang terlihat mencintai suatu kesenian, ikut berbagai macam kegiatan seperti anggota paduan suara, bahkan sempat menjadi seorang dirigen dalam sebuah paduan suara ketika dibangku SD. “Ayah sempat mengira saya akan menjadi seorang guru,” tutur Anggi sambil tersenyum. Sebab di lingkungan tetangga Anggi-lah yang mengajari anak-anak tetangga membaca, maupun menyanyi. Keahliannya tak hanya dibidang musik melainkan juga olahraga, seperti menjadi atlet olahraga kasti hingga sering mengikuti perlombaan dalam berbagai tingkat.

    Kemampuannya dalam memimpin juga terbukti ketika Anggi menjadi pemimpin gerak jalan/komandan Tonti (peleton inti), pemimpin organisasi sekolah atau biasa yang disebut OSIS, bahkan menjadi mayoret sebuah kelompok drum band sekolah hingga mendapat gelar mayoret terbaik tingkat SMP. Anggi mengaku sejak sekolah dia memang termasuk anak yang tidak bisa diam, doyan mengikuti kegiatan apapun, sebab menurutnya kegiatan apapun yang dia ikuti dulu kelak menjadi bekal dan membentuk kepribadiannya hingga sekarang.

    Saat ditanya kegiatan sekolah apa yang menyenangkan, Anggi menjawab menjadi anggota drum band sekolah, sebab dalam drum band benar-benar diajarkan bagaimana bekerja dalam tim dan bersikap disiplin dengan tujuan mencapai suatu prestasi. 

    Lulus SMU, Anggi hijrah ke Jogja dan menjadi mahasiswa Sastra Inggris, UGM. Tahun 1992-lah karir menjadi direktur Karta Pustaka dimulai. Saat mahasiswa, Anggi merupakan murid kursus Bahasa Belanda di Karta Pustaka. Penawaran menjadi wakil direktur dia dapatkan langsung dari direktur sebelumnya, Simadibrata. Adanya potensi sebagai penggiat kebudayaan akhirnya di tahun 1993 Anggi diangkat menjadi direktur menggantikan Simadibrata.

    Menurut Anggi, Karta Pustaka merupakan lembaga kebudayaan yang bersifat publik dan salah satu yang tertua di Jogja. Berawal dari sebuah perpustakaan kecil tepatnya di tahun 1968 yang didirikan untuk memenuhi kebutuhan banyak orang yang masih menggunakan bahasa Belanda, serta juga menyelenggarakan kursus Belanda. Peminatnya banyak, namun fasilitas tidak ada seperti buku bacaan berbahasa Belanda, maka Simadibrata yang juga pendirinya itu meminta bantuan berupa buku-buku atau majalah berbahasa Belanda ke kantor kedutaan Belanda.

    Nama Karta Pustaka sendiri diberikan oleh Romo Dikarto seorang budayawan Jogja, yang berarti perpustakaan yang berkembang. Berkembang tidak hanya dari banyaknya peminatnya dan bertambahnya koleksi buku-buku berbahasa Belanda namun juga berkembang menjadi wadah kegiatan budaya dan seni dari Indonesia-Belanda. Tahun 1970, Karta Pustaka menyelenggarakan segala macam yang sifatnya pertunjukkan, seperti konser, pentas teater, maupun pameran seni. “Banyak seniman terkenal yang pernah berekspresi di depan publik langsung dari panggung Karta Pustaka, salah satunya Alm. WS Rendra dengan Bengkel Teaternya,” ungkap Anggi.

    Dianggap pionirnya lembaga kebudayaan Jogja, lalu muncullah lembaga-lembaga yang sifat dan tugasnya sama dengan Karta Pustaka, yakni seperti Taman Budaya, Lembaga Indonesia-Prancis, dan lain-lain. Satu persatu lembaga kebudayaan berdiri untuk menggairahkan panggung kesenian di Jogja.
    Anggi selalu menjalani semuanya dengan sepenuh hati, “ketika kita menjalani apa yang kita sukai, maka semua kegiatan yang ada bukan lagi sebagai beban, melainkan sebuah kenikmatan sendiri.”



    *juga ditulis di rubrik Sosok, Harian Jogja, edisi 15 September 2013


Diberdayakan oleh Blogger.