Rss Feed
  1. Yak, update blog lagi.

    Kali ini, saya mau memposting kegiatan saya bulan Februari silam, waktu menjelajah Bali hanya dua hari saja.

    Dan tulisan di bawah pernah dimuat di rubrik jalan-jalan (saya lupa nama rubriknya apa :D ) Tribun Kaltim, edisi weekend, tanggal sekian bulan sekian (lupa edisi kapan :p )

    Tulisan di bawah juga masih murni tulisan saya, belum masuk dalam tahap editing.


    And check this out!!

    ===================================================================

    Bali, siapa yang tak mengenal pulau dengan sebutan pulau seribu pura ini. Setelah sepuluh tahun kemudian, akhirnya saya menjejakkan kaki untuk ketiga kalinya di pulau itu. Meski hanya semalam dua hari, tapi perjalanan singkat di Bali memunculkan cerita baru lagi.

    Mungkin saya juga harus berterimakasih kepada kantor yang memberi kesempatan saya untuk menikmati Bali sebentar.

    Menggunakan jadwal penerbangan paling pagi dari Balikpapan, saya bersama kedua teman tiba di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai lebih cepat 35 menit dari waktu kedatangan yang tertulis di tiket.

    Bali cerah di hari libur itu, namun menurut Bli Eko, seorang tour guide yang menemani wisata kami di Bali, malam sebelumnya Bali diguyur hujan. Terlihat dari sisa-sisa genangan air di jalanan Bali.

    Selepas landing, kami bertolak menuju hotel. Kebetulan kawasan hotel berada di pusat wisata belanja Bali, jalan Kartika Plaza, Kuta. Bukan segera cek-in kami hanya menitipkan barang di resepsionis, dan menjemput seorang kawan lagi yang sudah lebih dulu berada di Bali malam sebelumnya.

    Kami berempat, ditambah Bli Eko dan sang supir, menuju kawasan wisata pertama, di Bali Selatan, Uluwatu.

    Kawasan Bali Selatan, dari penuturan Bli Eko, dianggap sebagai kaki-nya Bali. "Kalau kepalanya Bali, itu ada di utara, tepatnya di kawasan Singaraja," jelas Bli Eko memberi penjelasan pada kami.

    Uluwatu menurut website yang saya buka selama perjalanan, masih dalam wilayah Kecamatan Kuta , Desa Pecatu, Kabupaten Badung, sekitar 25 km ke arah selatan dari wilayah wisata Kuta.

    Perjalanan saya dari hotel, menghabiskan waktu kurang lebih 45 menit lamanya.

    Tiba di Uluwatu, Bli Eko mengingatkan untuk menjaga barang dari jangkauan monyet ekor panjang yang merupakan penunggu tetap kawasan pura Uluwatu.

    "Monyet di sini nakal, suka mengambil barang turis. Jadi harus waspada dan hati-hati," peringatan Bli Eko saat memasuki loket karcis masuk kawasan wisata Pura Uluwatu.

    Dengan tiket dewasa Rp 20 ribu, dan anak-anak Rp 10 ribu, kita dapat menikmati lautan lepas yang merupakan Samudera Hindia. Sebelum masuk kawasan, kita akan melihat papan peringatan untuk turis, agar tidak membawa barang yang mudah diambil monyet ekor panjang, seperti kacamata, anting, maupun ikat rambut.

    Syarat utama memasuki kawasan ini, bagi wisatawan yang mengenakan celana panjang harus mengikatkan selendang di pinggang, bagi yang mengenakan celana pendek harus menggunakan kain panjang, yang dililit di pinggang menyerupai sarung.

    Pura Uluwatu menurut Bli Eko, sudah dibangun sejak abad ke-16 oleh seorang pendeta Hindu, Danghyang Nirarta, yang juga pendiri kawasan Tanah Lot. Ulu sendiri berarti di atas atau kepala, lalu watu adalah batu. Maknanya, sebuah pura yang didirikan di atas batu karang, dan menghadap langsung ke Samudera.

    Suasana di seputaran Pura Uluwatu benar-benar tenang, diiringi dengan suara deburan ombak samudera dibawahnya, rasanya benar-benar tenang. Tapi sayang, kami para wisatawan dilarang masuk ke kawasan pura kalau tidak untuk kepentingan berdoa.

    Sebenarnya, waktu yang paling tepat mengunjungi kawasan wisata ini adalah sore hari. Selain dapat menikmati matahari terbenam, kita pun juga disuguhkan dengan hiburan tari Kecak. Tapi, ya sudahlah, toh saya sudah cukup puas ke tempat ini menikmati suara ombak, dan angin laut, ditemani monyet-monyet nakal yang kapan saja bisa mengambil barang.

    Tujuan selanjutnya, adalah Garuda Wisnu Kencana (GWK). Ini kunjungan ketiga saya di tempat ini, tak ada yang berubah. Patung Dewa Wisnu masih ditempatkan terpisah dengan patung Garuda.

    Proyek ini bisa dibilang proyek lama pemerintah provinsi Bali sejak 2003, dan belum selesai sampai sekarang. Niat awal pemerintah Bali adalah mendirikan patung untuk menyaingi Liberty yang ada di Amerika. Tapi entah kenapa, proyek ini seakan mandeg di tengah jalan.

    Tiket masuk yang ditawarkan pengelola GWK adalah untuk pelajar Rp 40 ribu, dewasa Rp 50 ribu, wisatawan asing Rp 100 ribu. Sayang, cuaca Bali hari itu, sangat panas, untuk berfoto saja kami harus menutup mata karena silaunya cahaya matahari.

    Sejujurnya kunjungan kesini cukup membosankan, tapi sudah masuk dalam jadwal tur yang dipesan oleh seorang kawan.

    Setengah jam menikmati GWK, kami langsung menuju sebuah pantai. Kawasan yang untuk pertama kalinya saya singgahi di Bali, Pantai Pandawa.

    Area parkir Pantai Pandawa
    Pantai ini, masih di kawasan Bali Selatan, Kabupaten Badung. Pantai ini unik, terletak di balik perbukitan kapur. Bahkan beberapa meter memasuki kawasan parkir, kita akan disuguhkan patung dari lima ksatria dari epos Hindu yang terkenal Mahabarata, Pandawa dan juga sang ibunda, Dewi Kunthi.

    Patung ini di pahat dari batu kapur, lalu diletakkan dalam tebing yang sedikit dilubangi untuk meletakkan patung-patung itu. Lima patung Pandawa diletakkan bertingkat, dengan patung Dewi Kunthi yang diletakkan pertama kalinya. Berurutan putra pertama Pandawa, Yudistira, dan terakhir adalah Sadewa.

    Tiba di parkiran, cuaca benar-benar panas. Cahaya matahari cukup menyengat kulit dan ubun-ubun kepala. Meski Bli Eko menawarkan payung untuk kami, tapi saya sendiri memilih untuk menutupi kepala menggunakan jaket. Menuju pasir pantai yang putih, suasana sangat ramai.

    Air laut di pantai ini benar-benar biru. Didukung dengan pemandangan langit biru, semakin menambah keindahan kawasan ini. Pengelola pun menyediakan payung disekitaran pantai, dan juga penyewaan kano.

    Birunya Pantai Pandawa, dengan pasir putihnya. Dilengkapi fasilitas penyewaan kano.
    Sayaaaaaa :D
    Cukup 45 menit kami berada di Pantai Pandawa. Kami menyudahi wisata hari pertama di Bali itu. Selanjutnya perut yang keroncongan sedari pagi, kami isi dengan menikmati ayam kampung Betutu khas Bali yang terdapat di Kuta. Melelahkan, semoga besok lebih menyenangkan.



    HARI KEDUA

    Yak, memulai hari terakhir wisata di Bali, setelah sarapan dan segera cek-out dari hotel, saya bersama teman yang lain melanjutkan perjalanan menuju Tanah Lot. Janjian pukul 09.00 tetapi baru bisa berkumpul pukul 10.00, ya kebiasaan ngaret orang Indonesia.

    Kali ini wisata saya lakukan bersama kedua teman, sedangkan seorang teman harus pulang lebih dulu karena alasan pekerjaan. Praktis, saya bersama kedua orang teman, Bli Eko dan juga sang supir.

    Saya akan meng-skip cerita di Tanah Lot, buat saya tempat ini sama seperti sepuluh tahun lalu. Kami melanjutkan menuju kawasan Bedugul. Tapi karena permintaan teman yang ingin mencari arak Bali dan juga kopi Bali, kami menuju jalan raya Denpasar-Bedugul, Desa Perean, Baturiti, Tabanan-Bali.

    Di tempat ini kami disuguhkan aktifitas pembuatan kopi asli Bali. Memang kawasan ini banyak ditumbuhi pohon kopi jenis arabika. Bahkan tersedia pula kopi luwak yang dikenal mahal. Kopi luwak di tempat ini pun juga diproduksi sendiri, tak heran jika terdapat empat ekor binatang luwak atau musang.

    Nenek penyangrai biji kopi Bali, maupun biji kopi luwak.
    Meracik beragam rasa teh.
    Aroma kopi yang disangrai menemani kunjungan kami. Tak hanya kopi, rempah-rempah untuk kebutuhan pembuatan teh juga tersedia.

    Beruntung di tempat ini disediakan tester dari semua minuman yang diproduksi sendiri. Seperti curcuma tea, mocha tea, mangosteen tea, coconut coffee, saffron tea, red rice tea, pandanus tea, cocoa, kopi bali, kopi ginseng, lemon grass tea, dan juga ginger tea.

    Tapi sayang tester untuk kopi luwak dihargai Rp 50 ribu ukuran gelas kecil. Daripada mengeluarkan Rp 50 ribu, saya memilih merasakan tester yang disediakan secara gratis.


    Satu toples kecil kopi luwak dibanderol Rp 300 ribu. Sedangkan kopi Bali yang dikemas sederhana menggunakan paper bag berwarna coklat hanya Rp 16 ribu saja. Tak hanya berbagai cemilan oleh-oleh khas Bali, untuk minuman teh dibanderol Rp 6 ribu sampai Rp 10 ribu.

    Puas berbelanja oleh-oleh di sini kami melanjutkan tur ke Bedugul tepatnya di kawasan Ulun Danu Beratan. Setelah makan siang, kami menikmati pura di sini. Meski tak bisa berfoto di dalam pura, menikmati alam sekitar danau yang dingin juga dapat menentramkan hati.

    Pura di Danau Beratan
    Tapi sayang kabut yang turun, disertai gerimis membuat kami harus bergegas untuk kembali ke pusat kota. Perjalanan yang dirasa agak lama, membuat saya tertidur, sepertinya bukan hanya saya, kecuali sang supir kami semua seperti disihir untuk mengantuk dan tertidur selama
    perjalanan.

    Satu jam rasanya saya dan yang lain tertidur. Kami tiba di Kuta, tepatnya di kawasan Sunset Road, di pusat oleh-oleh Agung Bali.

    Beli oleh-oleh untuk kawan di kantor, keluarga, dan diri sendiri. Benar-benar kalap rasanya, murah, lengkap, dan menyenangkan.

    Setelah dua jam memilih, menimbang, dan akhirnya memutuskan untuk membeli oleh-oleh dan titipan teman. Kami diantar Bli Eko menuju bandara, bersiap kembali pulang ke Kalimantan, dan kembali bertugas untuk esok hari.  (amanda liony)

  2. Main Kata #3

    Sabtu, 06 Juni 2015

    "Segala yang bernama kepastian
    tak serta merta datang.
    Tetap saja kita harus menunggu,
    bahkan dalam ketidakpastian"

    (@moammaremka)

  3. "Di antara rindu yang selalu gagal kuungkapkan

    di dalam rasa canggung yang belum kupahami

    Tolong....jangan pergi!"


  4. "Karena sesungguhnya, tanpa sepengetahuanmu, sekarang ini aku sedang memelihara banyak cemburu"

    (no-name)

  5. Hijab dan Rokok

    Minggu, 03 Mei 2015

    ilustrasi

    Rokok, siapa yang tak mengenal tembakau kemasan ini. Tua-muda, dari pria hingga wanita pun menngkonsumsi barang ini. Wanita? Ya, untuk jaman sekarang di perkotaan besar, rokok menjadi hal yang lumrah bagi wanita. Balikpapan yang bukan kota kecil saja, banyak mereka yang mengkonsumsinya.

    Rokok bagi wanita, buat saya secara pribadi adalah perlambang kesetaraan gender, perlambang kebebasan menyuarakan hak mereka, dan perlambang sosialita wanita masa kini.

    Jangan kaget, saat ini mereka perokok aktif sebagian besar wanita adalah mereka pengguna hijab. Justru mereka banyak saya temui di kampung halaman saya sendiri, Balikpapan, Kaltim. Bukan dari kota perantauan saya saat menjalankan perkuliahan.

    Balikpapan kini memang maju, didukung banyak perusahaan di dalamnya. Migas, perhotelan, perbankan, dan yang mendominasi adalah perusahaan property. Tak heran kalau Balikpapan memang menjadi target para pekerja luar daerah untuk mencari nafkah di kota minyak ini.

    Kemajuan yang semakin berkembang, membuat maju juga gaya hidup masyarakat di dalamnya. Termasuk para wanitanya.

    Merokok di kafe, berkumpul dengan relasi bisnis atau teman sekantor setelah pulang kerja adalah hal yang lumrah dan banyak ditemui di tempat sekelas tempat ngopi yang ada di Balikpapan.

    Di sini, saya hanya mau fokus soal wanita berhijab yang juga perokok. Ya, buat saya merokok adalah hak banyak orang. Merokok pun tak berdosa, hanya sakit yang akan ditanggung. Tapi, bagaimana pandangan masyarakat dengan wanita berhijab yang perokok?

    Aneh? Acuh tak acuh? Atau justru malah memaki si perempuan berhijab yang perokok itu? Saya memang belum pernah melakukan survey soal ini. Mengenai tanggapan mereka yang memandang wanita perokok secara luas dan spesifik yang seorang berhijab.

    Sangat disayangkan sebenarnya, mereka berhijab tapi memilih untuk merokok. Apa mereka tak sadar dengan busana yang sebenarnya adalah ciri khas mereka sebagai seorang muslim yang taat menjalankan kewajiban wanita Islam, untuk menutup aurat.

    Apa mereka pernah berpikir tanggapan orang lain? Memang kebanyakan mereka akan berpikir, "masa bodoh dengan tanggapan banyak orang, toh saya tak mengganggu kehidupan mereka."

    Ya, itu yang pernah saya rasakan kurang lebih enam tahun silam. Eits, kala itu saya belum seperti sekarang. Belum mengenakan jilbab, belum mengenakan pakaian tertutup. Sejujurnya, saya pun tak ingin menjadi orang yang munafik. Tapi saya hanya kasian saja dengan mereka, wanita berhijab yang juga perokok itu.

    Kenapa? Bau rokok akan melekat di baju dan kain hijab yang dikenakannya. Saya saja yang berada dekat dengan perokok berusaha untuk tak berhadapan langsung dengan asapnya, apalagi bagi mereka yang perokok.

    Ya, kembali lagi, ini soal hak manusia sih. Dan urusan mereka dengan lingkungan sekitar mereka, maupun dengan Tuhan. Apa urusannya dengan sang pencipta? Saya pikir ini soal bagaimana mereka bersikap menjadi pribadi muslimah yang baik. Pun bukan berarti seorang wanita perokok itu tak baik. Sekali lagi, ini soal hak.

    Yak, sekian tulisan random yang idenya datang, kemarin, saat berada di jalan raya. Entahlah, ide suka datang seenaknya, termasuk soal rasa dan sayang *iniapasih *plakk!!

    Bye!!


    Balikpapan, 3 Mei 2015
    Kantor - ramai - riuh

  6. Malam Kelu

    Senin, 20 April 2015

    First time, nulis blog langsung dari handphone. Alasannya banyak, malas membuka laptop/pc, maupun malas untuk duduk berlama-lama di depan layar.


    Malam ini, Senin 20 April 2015, malam kelu. Sesak. Didukung dengan dada nyeri sebelah kiri. Entahlah, saya hanya tak mau mengeluh di depan kamu. Lebih banyak diam jadi pilihan. Karena ini terlalu berat, rasanya berat. Berat untuk melihat kamu, apalagi mendengar saran dan nasehatmu.


    Bibir terlalu kelu,  untuk menyampaikan bahwa saya ketakutan. Apa? Jauh dari kamu! 


    Jarak jauh bukan hal yang baru, hanya kali ini saya benar-benar merasa takut. Dari pengalaman yang sudah-sudah, seminggu kita pisah, kau hanya manis di awal, selebihnya larut dalam rutinitas yang membuat saya selalu berpikir, "kau sedang apa di sana?" Tanpa saya tahu apa jawabannya, pertanyaannya yang tak pernah saya selesaikan.


    Malam ini, kembali nasehat dan pesanmu, kau lontarkan, meski dalam hati saya bukan soal itu. Membuang muka bukan berarti tak mendengar, saya hanya memikirkan soal ketakutan, dan saran juga pesanmu. 


    Saya hanya terlalu malu, untuk bertanya, "sampai di sana nanti, seberapa lama kamu akan tetap berkomunikasi dengan saya?" 
    Sebab bosan, dengan ketakutan yang sejak dua minggu terakhir ini datang.


    Dengan absurdnya, kamu tetap terus berbicara, tak jarang guyonan jadi pilihan kamu untuk membuat saya tersenyum. Sesekali kepala mu ditidurkan di atas pahaku, sebagai kode kepalamu di belai, manja. Senang ketika melakukannya, hanya semakin dalam, saya cuma bisa menahan kelu untuk kesekian kalinya.


    Saya diam, lebih banyak diam bahkan. Yang saya harapkan, "besok temenin di bandara ya?" Atau "besok bisa ke bandara ngga?"


    Pikirmu, saya macam remaja ya. Saya pikir, orang jatuh cinta memang berkelakuan seperti anak sekolahan. Entahlah..


    Beberapa waktu yang lalu pun, kau bilang bahwa tak bisa menjanjikan apapun saat ini. Yang saya ingat lagi, kelak ketika kau datang kembali ke kota minyak ini, ada komitmen yang akan kamu beri untuk saya. Entah, saya harus menunggu berapa lama. Dan entah, itu komitmen seperti apa. 


    Besok, saya harus memulai untuk kembali lagi menjadi seorang yang mandiri. Kembali menjadi perempuan yang berpura-pura tangguh dengan segala tuntutan kerja. Dan kembali, menikmati sore sendiri. Makan siang, makan malam, akan saya lewati mungkin nanti bersama teman-teman.


    Kau tahu, saat ini di kamar, yang saya benar-benar saya ingat dan rasakan, adalah aroma kamu. Selintas, aroma tubuhmu menempel di baju yang saya kenakan ini. Sudahlah!


    Besok hari baru, menikmati waktu tanpa harus menunggu untuk bertemu. Tapi hari baru untuk menanti komitmen yang apakah itu baik atau buruk buat saya. Semoga kuat! Saya berharap kuat! Karena saya ingin kamu! Omen!



    Malam kelu, dengan samar geluduk diatas rumah
    Balikpapan, 20 Maret 2015




Diberdayakan oleh Blogger.