Rss Feed
  1. Setelah Depo Plumpang Terbakar

    Selasa, 20 Januari 2009

    Terbakarnya depo minyak PT Pertamina di Plumpang, Jakarta Utara, merupakan pelajaran mahal. Kejadian ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan rendahnya standar pemadaman kebakaran obyek vital. Akibatnya, sekitar 2.000 kiloliter bensin premium hangus dan satu orang meninggal. Total kerugian materiil ditaksir Rp 15 miliar.

    Peristiwa ini menyedot perhatian masyarakat lantaran pentingnya depo Plumpang dalam jalur distribusi bahan bakar minyak. Fasilitas milik Pertamina ini menyalurkan 20 persen kebutuhan bahan bakar nasional, terutama untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya. Dalam kondisi normal, depo Plumpang, yang memiliki 27 tangki penyimpanan, dapat menyalurkan premium sebanyak 10 ribu kiloliter per hari.

    Kebakaran diduga disebabkan oleh rusaknya release valve, alat untuk mengeluarkan tekanan yang berlebih di dalam tangki. Jika indikasi ini benar, muncul pertanyaan kenapa kerusakan ini tidak dideteksi lebih awal. Inilah pentingnya pengawasan ketat terhadap obyek sevital depo Pertamina. Indikasi yang tak beres sekecil apa pun seharusnya tak diabaikan.

    Pertamina dan petugas pemadam kebakaran juga terkesan tidak siap menghadapi bahaya kebakaran. Petugas pemadam terlihat kewalahan menjinakkan api. Petugas menunjuk kurangnya jumlah hidran sebagai sebab. Kalaupun ada hidran, airnya kosong. Petugas pemadam kebakaran terpaksa mengambil air secara estafet dari Sungai Sunter di dekat lokasi kebakaran. Akses ke titik api pun hanya bisa dilintasi satu kendaraan. Akhirnya mereka hanya berusaha mencegah kebakaran menjalar ke rumah penduduk dan kilang lainnya, seraya menunggu sampai premium dalam tangki itu terbakar habis.

    Meski kebakaran tak meluas, kejadian itu memperlihatkan betapa minimnya fasilitas pemadam kebakaran. Dinas Kebakaran DKI Jakarta, misalnya, tak memiliki helikopter untuk memadamkan kobaran api besar di lokasi yang sulit dijangkau seperti depo minyak. Agak sulit membayangkan seandainya kelak terjadi kebakaran besar di lokasi-lokasi yang luas dan tinggi, seperti gedung perkantoran, mal, dan apartemen bertingkat yang bertaburan di Jakarta.

    Pertamina pun dituntut memperbaiki sistem pengamanan depo-depo minyak yang dimilikinya. Jika depo di Plumpang saja mudah terbakar, bagaimana depo Pertamina di daerah-daerah lain? Harus diakui, selama ini depo Plumpang termasuk yang diawasi dengan ketat karena berada di ibu kota dan dekat dengan permukiman penduduk.

    Karena semua fasilitas penyimpan bahan bakar rawan kebakaran, sudah seharusnya diterapkan standar pengamanan yang tinggi. Tidak ada kompromi terhadap kesalahan sekecil apa pun yang berpotensi membuat api terpantik dan berkobar. Setiap depo juga harus memiliki sistem pemadam kebakaran internal yang memadai. Jangan lupa juga menyediakan jalan lapang yang memungkinkan mobil-mobil pemadam dari luar gampang membantu bila kebakaran terjadi. Tentu pengamanan perlu biaya besar, tapi biaya ini tidak seberapa dibanding kerugian yang diderita bila kebakaran tak teratasi.***(tempo)


  2. Sadarlah…

    Jumat, 16 Januari 2009

    Sadarkah kamu, bahwa kamu telah mempermainkan aku?

    Sadarkah kamu, bahwa kamu telah membohongi ku?

    Kau tidak menyadarinya, tapi aku yang menyadarinya…

    Entah kau merasakannya atau tidak…

    Saat aku mengenalmu, aku mulai merasakan bahwa kau satu-satunya untukku, kau satu-satunya yang mampu mengobati rasa pedih di hatiku. Aku pun mampu melewati tiga hari itu bersamamu dalam canda yang mungkin tak pernah aku dapatkan. Aku senang di tiga hari itu.

    Suatu sore yang mendung kau mengajakku ke tempat yang sangat indah, tempat yang baru aku lihat. Hijau, asri, dihiasi gemericik air sungai dengan merdu. Kamu menemani aku menikmati dinginnya air sungai, duduk bersama di bebatuan, berbicara dengan berbagai lelucon yang terdengar sangat aneh buatku. Tak jarang kamu pun menggodaku.

    Aku benar-benar menikmati sore itu. Hanya sesaat kita disana, rintik hujan pun turun, kita berlari, berlindung dari hujan. Di tengah jalan pun kita basah, dingin, namun aku mencoba untuk tak mengatakan hal itu padamu, aku tahu kamu tidak akan peduli.

    Ketidakpedulianmu, keangkuhanmu, membuatku ingin selalu lebih mengenalmu. Walaupun kadang aku merasa kesal dengan sikapmu. Tapi aku mencoba biasa, karena aku tak mau kamu tahu. Banyak cerita yang telah aku dengar tentangmu. Setengah hatiku pun mempercayainya. Namun aku tetap bersamamu. Aku akhirnya mengenalmu dengan dalam, kamu pun juga, mengenalku.

    Namun SADARLAH, aku mulai merasa jauh darimu ketika kamu masih memilikinya. Memiliki seseorang yang telah menunggumu itu. Kamu mencoba untuk meyakinkan aku, dan entah hal apa yang membuatku percaya.

    Kini SADARLAH, aku ingin lepas darimu…

    SADARLAH, aku tak mau terlalu dekat denganmu lagi, walau aku mencoba melawan kata hatiku…

    dan SADARLAH, bahwa aku mulai tak peduli denganmu.

    karena aku telah memiliki seseorang, yang tentu aku berharap sama seperti mu…

    Terimakasih untuk tiga hari itu…


  3. Supersemar, Fakta atau Fiktif???

    Kamis, 15 Januari 2009

    Supersemar, surat perintah sebelas Maret, yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno untuk memberi perintah langsung terhadap Soeharto yang saat itu menjadi Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yg dianggap perlu utk mengatasi situasi keamanan yg buruk di tahun itu, benarkah surat perintah itu ada atau hanya fiktif belaka?

    Surat perintah yang menjadi awal zaman baru itu merupakan sebuah bukti sejarah dari titik akhir kekuasaan Soekarno. Tak jelas apakah supersemar itu benar-benar ada atau tidak. Apakah benar-benar dibuat atau hanya karangan yang tak jelas yg tak jelas dari sumbernya? Sangat sulit untuk menjawabnya, karena pelaku sejarah peristiwa lahirnya supersemar ini sudah tak ada, dalam arti lain meninggal dunia.

    Ada dua versi dalam keluarnya supersemar ini. Pertama merupakan versi resmi, diawali ketika tepat tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno menghadiri sidang pelantikan Kabinet Dwikora. Pada saat sidang dimulai, salah satu panglima pasukan pengawal presiden Tjakrabirawa melaporkan adanya “pasukan liar” yang diketahui adalah pasukan Kostrad dibawah pimpinan MayJen Kemal Idris yg bertugas menahan orang2 yg berada di Kabinet yg diduga terlibat dalam kasus G 30 S. Berdasarkan laporan tersebut presiden meninggalkan sidang tersebut dan berangkat ke Bogor dengan helikopter yg sudah disiapkan sebelumnya.

    Situasi ini kemudian dilaporkan kpd MayJen Soeharto, lalu Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor utk menemui presiden di istana Bogor yaitu Brigjen M. Jusuf, Brigjen Amir Machmud, & Brigjen Basuki Rahmat. Sesampai di Istana Bogor, ketiga perwira tersebut terlibat pembicaraan dengan presiden Soekarno, dan mereka mengatakan bahwa MayJen Soeharto dpt mengendalikan situasi & memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas/surat kuasa yg diberikan kewenangan pada Soeharto utk mengambil tindakan tersebut. Presiden setuju, lalu dibuatlah surat perintah yg dikenal dengan supersemar itu.

    Versi kedua, memiliki kesamaan dengan versi resmi yg telah ada. Versi kedua ini, dituturkan oleh kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor. Ia menyatakan bahwa perwira tinggi yg datang ke Istana Bogor waktu itu bukan tiga orang perwira melainkan empat perwira, yakni ikutnya Brigjen M. Panggabean. Namun proses penulisan surat perintah tersebut telah diketik oleh perwira2 itu, sehingga kedatangan mereka hanya untuk meminta tandatangan Presiden Soekarno. Salah satu perwira tersebut bahkan menodongkan senjata kearah presiden & memaksa presiden utk menandatangani surat perintah yg telah ditulis tersebut. Presiden pun menurutinya. Setelah penandatanganan surat itu Presiden Soekarno meninggalkan Istana Bogor, entah menuju kemana.

    Setelah peninggalan presiden, Istana Bogor telah diduduki oleh pasukan RPKAD & kostrad. Dan, pengawal kepresidenan yg bersaksi bersama rekan pengawalnya ditangkap & ditahan di sebuah rumah tahanan militer, mereka pun diberhentikan dari dinas militer. Namun byk kalangan yg meragukan kesaksian pengawal presiden itu, bahkan salah satu perwira yg mendatangi presiden Soekarno di Istana Bogor, membantah peristiwa pemaksaan penandatanganan dari presiden.

    Dua versi kemunculan supersemar itu membuat keberadaannya masih simpang siur. Banyak sejarawan yg mencoba mengungkapnya, salah satunya sejarawan asing bernama Ben Anderson. Ia mendapat kesaksian dari salah satu tentara yg pernah bertugas di Istana Bogor. Tentara tsb mengatakan bahwa Supersemar diketik di atas surat berkop markas besar Angkatan Darat, bukan di atas berkop kepresidenan. Inilah yg menurut Ben menjadi alasan mengapa supersemar hilang atau mungkin sengaja dihilangkan.

    Entahlah, dimana surat yang membawa awal bangsa ini melewati zaman baru, itu berada. Tak seorang pun yg mampu menjawab, keberadaan sejarah Indonesia yang masih gelap tersebut.


  4. Kembang Api di Malam Tahun BAru

    Selasa, 13 Januari 2009

    Ibu aku ingin sekali melihat kembang api yang sebenarnya. Aku ingin ibu.”

    Nak kembang api yang telah kamu lihat itulah kembang api yang sebenarnya.”

    Bukan! Ibu salah! Aku melihat dari televisi di rumah pak erte waktu itu, sangat besar sekali, dan berwarna-warni. Sangat berbeda dengan yang aku lihat selama ini bu.”

    Ibu terdiam. Seakan ucapannya benar-benar salah. Ya, aku sangat ingin sekali melihat kembang api seperti yang ada dalam televisi pak erte waktu aku kerumahnya, menemani Agus yang sedang meminta permohonan surat pindah rumah. Teman sejak kecilku itu akan pindah ke kota setelah dia dan keluarganya mendapatkan warisan dari kakeknya yang telah meninggal. Betapa beruntungnya Agus, aku sangat iri padanya. Seringkali terlintas dalam pikiranku, mengapa aku dilahirkan dalam keluarga yang sangat miskin? Ayahku hanya seorang buruh tani musiman, ibuku bekerja apa saja yang bisa ia kerjakan, aku juga mempunyai tiga orang adik-adik yang masih sangat kecil, si kembar Ria dan Rina, dan satu lagi jagoan kecil, Dimas. Rumahku? Jangan tanya soal itu, tempat tinggalku tidak pantas dikatakan sebagai rumah tapi sebuah kandang ternak. Ah… aku menyesal dengan keadaanku sekarang.

    Aku pernah menceritakan keadaanku yang miskin dan penuh penderitaan ini pada Agus, dia berkata

    Di, ibu dan ayahmu itu bekerja untuk kamu dan adikmu, seharusnya kamu berterimakasih padanya!”

    Aku berpikir dapat kalimat dari mana dia untuk menasehatiku, apalagi dia sebaya denganku, berumur 10 tahun. Aku sendiri hanya bisa diam menanggapinya. Tapi yang pasti aku tidak suka dia berkata seperti itu, pasti dia telah sombong karena dia akan pindah ke kota.

    Ibu. Kenapa ibu diam saja?” aku membuyarkan ibu dari diamnya.

    Ibu hanya berpikir, bagaimana mungkin kamu akan melihat kembang api yang seperti kamu lihat di televisi pak erte, nak?”

    Caranya mudah bu. Ibu tinggal membawaku ke kota dan kita akan melihat kembang api itu.”

    Ke kota? Dapat uang dari mana kita akan ke kota nak? Sudahlah, kamu pendam dulu cita-cita mu untuk melihat kembang api yang sebenarnya itu!” Ibu terlihat sangat marah sekali padaku, dan beranjak menuju dapur. Sekarang giliran aku yang terdiam, dalam hati aku bertanya, kapan aku akan melihat kembang api yang besar dan berwarna-warni itu? Kapan? Tak terasa air mata jatuh dari kelopak mataku.

    ***

    Tahun berganti tahun. Tak terasa kini aku sudah menjadi seorang pemuda yang sangat kuat. Ayahku telah meninggal setahun yang lalu, akibat sakit yang dideranya. Akhirnya akulah yang mencari nafkah untuk kehidupan kami sehari-hari, dan juga untuk sekolah ketiga orang adikku.

    Persahabatanku dengan Agus pun juga masih berjalan, walaupun dia telah sukses disana, tapi dia tak pernah lupa akan sahabat dan kampung halamannya. Kami tetap memberikan kabar lewat surat, meski aku buta huruf aku tetap setia membalas surat-suratnya itu dengan bantuan adik-adikku. Mereka tak pernah lelah membantuku menuliskan suratnya untuk Agus, membacakan surat dari Agus, bahkan adik-adikku itu juga mengirimnya ke kantor pos di desa sebelah.

    Dalam setiap surat yang Agus kirimkan padaku dari tahun pertamanya di kota hingga sekarang, ada satu yang terus membuatku iri, yaitu dia bercerita tentang kembang api yang besar dan berwarna-warni seperti yang ada di televisi pak erte pada setiap acara tahun baru di kotanya. Ya… cita-citaku untuk melihat kembang api yang besar dan berwarna-warni itu tak pernah aku hilangkan dari pikiranku. Sepertinya sudah saatnya aku pergi ke kota untuk melihatnya, apalagi sekarang adalah akhir tahun, pasti di kota Agus ada kembang api yang besar dan berwarna-warni itu. Aku harus kesana!

    Tidak, ibu tidak mengijinkan kamu pergi ke kota hanya untuk melihat kembang api!” ibu berkata sambil mengaduk nasi yang ditanaknya, di atas tungku api yang besar.

    Tapi ibu ini kesempatanku untuk melihat kembang api yang besar itu. Ini adalah cita-citaku.” Balasku. Ibu menoleh padaku lalu berkata lagi

    Itu bukan cita-cita, tapi obsesi mu yang belum terwujud. Mana mungkin, kamu seorang pemuda berumur 20 tahun mempunyai cita-cita melihat kembang api, nak?”

    Terserah ibu mau mengatakan apa, tapi yang pasti aku akan pergi ke kota untuk melihat kembang api itu.” Aku pergi meninggalkan ibu menuju kamarku untuk berkemas membawa apapun yang diperlukan. Entah setan apa yang membisikan telingaku untuk tetap pergi walau tanpa ijin dari ibu.

    Tiba-tiba ibu masuk dalam kamarku yang sempit, membantuku berkemas, aku terpaku melihatnya, kemudian ibu berkata

    Ibu tetap tak mengijinkanmu, tapi jika kamu tetap bersikeras untuk pergi, ibu mau tak mau mengijinkanmu.” Air mengalir di pipi ibu yang telah keriput itu. Aku memeluknya.

    Terimakasih ibu. Aku tak akan lama disana, doakan anakmu selamat.”

    Ibu menyelipkan beberapa lembar uang di tanganku, lalu berlalu, keluar dari kamarku menuju kamarnya. Kembali aku hanya diam menatapnya.

    Adik-adikku yang telah menunggu di halaman rumah, melepas kepergianku seakan menuju kemedan perang.

    Mas Adi hati-hati ya.” Ujar si kembar berbarengan.

    Aku menggangguk.

    Nanti setelah melihat kembang api yang besar dan berwarna-warni itu, mas harus segera pulang. Kami akan menunggu cerita mas Adi tentang kembang api itu.” Dimas pun juga berkata.

    Iya, mas akan segera pulang, dan akan membawa kalian cerita serta oleh-oleh.”

    Kami tak mau oleh-oleh mas, yang kami inginkan hanya keselamatan mas kembali pulang kerumah.”

    Aku terharu. Ku peluki satu persatu tubuh mereka, lalu pergi meninggalkan ibu, adik-adikku, dan rumah yang bertahun-tahun aku tempati.

    ***

    Dengan bermodalkan uang dari ibu yang tak seberapa, dan motor pinjaman dari mas Galih, dengan jaminan oleh-oleh dari kota akhirnya aku sampai juga di kota, tempat tinggal Agus itu. Udara yang sangat panas membuatku membeli sebotol air mineral. Aku terduduk di sebuah warung, tempat aku membeli minuman. Bagaimana mungkin aku mengunjungi rumah Agus, alamatnya saja aku tak tahu. Memang aku membawa alamatnya, dari sebuah robekan kertas amplop yang dikirim oleh Agus, tapi membaca saja aku tidak bisa.

    Tiba-tiba seorang lelaki paruh baya medekatiku.

    Ada masalah?”

    I…Iya pak.”

    Masalah apa yang kamu hadapi, nak? Bolehkah bapak tau?”

    Aku pun mulai menceritakan dari awal dimana keinginanku datang ke kota ini hanya untuk melihat kembang api yang besar dan berwarna-warni. Bapak itu tertawa, seakan menertawai keinginanku melihat kembang api. Dia pun melihat wajah tidak sukaku karena dia menertawakannya.

    Oh…maaf, maaf. Aku hanya bingung, ternyata di dunia ini masih ada orang yang belum melihat kembang api yang besar. Hingga ia nekat pergi dari kampungnya hanya untuk melihat kembang api itu. Aku benar-benar tak menyangka.”

    Apakah salah jika saya belum melihat kembang api yang besar itu?”

    Tidak. Tentu tidak. Itu bukan kesalahan, tapi obsesi kecilmu, yang bisa diwujudkan ketika kamu dewasa. Lalu apa yang akan kamu dapatkan setelah melihat kembang api itu?”

    Kepuasan.” Jawabku tegas.

    Kepuasan batin. Karena selama ini aku tak pernah mendapatkan sebuah kepuasan. Dengan melihat kembang api itu rasanya beban yang ada dalam pundak ku ini hilang.” Aku melanjutkan.

    Kamu benar-benar ingin melihat kembang api itu?”

    Iya! Buat apa aku datang kemari, jika tidak dapat melihat kembang api itu.”

    Baiklah, kamu bisa melihatnya, tapi baru nanti malam kamu akan melihatnya, tepat jam 12. Datanglah di alun-alun kota, kamu tinggal terus saja melewati jalan ini, dan kamu akan sampai di alun-alun yang ramai. Di situlah acara tahun baru digelar, dan kamu akan melihat kembang api yang besar dan berwarna-warni itu.” Bapak itu menjelaskan dan juga menunjuk kearah jalan besar. Jalan menuju alun-alun.

    Terimakasih pak. Saya akan segera kesana.” Aku menjabat tangan bapak itu, dan langsung segera pergi menuju alun-alun.

    Sesampainya disana keadaan masih sepi, terlihat panggung yang sangat besar telah berdiri di tempat itu, mungkin akan digunakan untuk pertunjukkan musik nanti malam. Jam 12? Masih sangat lama, pikirku. Itu sama saja aku menunggu bertahun-tahun lamanya. Tapi tak apalah, demi melihat kembang api yang besar dan berwarna-warni itu aku akan menunggunya. Sambil menunggu waktu malam, aku akan tidur dulu, melepas lelahku, dari perjalanan yang jauh. Aku melihat pohon yang sangat rindang, aku pun tidur di pohon itu, ditemani semilir angin yang sejuk.

    Entah telah jam berapa aku bangun dari tidurku. Suasananya benar-benar sangat ramai. Terdengar orang-orang disana mngucapkan angka.

    Lima belas, empat belas, tiga belas….”

    Oh, tidak? Dimana motorku? Motor pinjaman dari mas Galih, dengan jaminan oleh-oleh yang akan aku bawa. Dimana motor itu? Bukankah tadi aku letakkan dekat pohon ini.”

    Sepuluh, sembilan..”

    Aduh, harus berkata apa nantinya pada mas Galih? Harus ku ganti dengan apa?”

    Aku berlari ke tengah jalan raya, mataku menyapu seluruh daerah itu, mungkin saja aku lupa meletakkannya, tapi daerah itu benar-benar sangat ramai.

    Lima, empat, tiga, dua…”

    Toooooooeeeeeeeeeettttttttttt… SELAMAT TAHUN BARUUUUUUUUU…”

    Aku terpana melihat kembang api raksasa bagaikan payung, menghiasi langit alun-alun kota malam ini. Aku tersenyum, tanpa sadar sebuah sedan hitam dengan moncongnya yang mengkilap, menyentuhku dengan sangat keras.

    Braaaak…”

    Aku jatuh, tubuhku lunglai, terasa sesuatu mengalir deras dari kepala ku, namun aku masih bisa melihat kembang api besar dan berwarna-warni, samar-samar aku melihatnya, redup, lalu tiba-tiba gelap kemudian hitam, terlihat bayangan ibu di desa, dengan berteriak-teriak memanggil namaku.***

    Balikpapan, di awal tahun yang mendung.

    (Kupersembahkan untuk seseorang yang tak bisa

    melihat kembang api bersama ku.)


Diberdayakan oleh Blogger.