Rss Feed
  1. Sang Putra Fajar yang Dilupakan (1)

    Rabu, 11 Februari 2009

    Siapa yg tak mengenal Soekarno? Founding father, orator ulung, berwibawa, kharismatik, cendekiawan, ideolog, & bahkan sosok yg sempurna sbg pemimpin bangsa. Karena itu tak heran jika sosoknya tidak ada yg mampu menandinginya. Namun sayang sbg sosok yg tangguh di mata bangsa, dan menjadi banyak pujaan akhir perjalanannya sangat tidak menyenangkan bahkan ironis. Sebagai seorang yg dianggap pendiri bangsa, Soekarno harus menghadapi realitas dan rivalitas politik yang menyakitkan dan harus berakhir pada ironi kehidupan yang sangat menyesakkan.

    Dilahirkan di Lawang Seketeng, Surabaya, Jawa Timur, pada 6 Juni 1901. Oleh ibu yang berasal dari Bali, Ida ayu Nyoman Rai. Ayahnya sendiri seorang guru kelahiran Probolinggo bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo. Menurut ibunya kelahiran Soekarno di waktu fajar memiliki makna khusus. Kata Soekarno, ibunya mengatakan: “kelak engkau akan menjadi org yg mulia, engkau akan menjadi pemimpin rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing. Kita org Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa org yg dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dahulu. Jangan lupakan itu, nak, bahwa engkau ini putra dari sang fajar.”

    Menulis tentang Soekarno bisa menghabiskan berlembar-lembar kertas. Perjalanan panjangnya mempunyai byk arti dalam kehidupan khususnya bagi bangsa ini. Berkatnya lah Indonesia mampu menjadi negara yg disegani pada waktu itu.

    Soekarno juga merupakan sosok pecinta seni. Minatnya pada dunia seni sudah tampak sejak usia muda hingga akhir hayatnya. Kecintaannya pada karya seni (khususnya lukisan dan patung) semakin menemukan momentum yang tepat ketika dia diangkat sebagai Presiden RI (1945-1967). Tercatat hamper 3000 karya seni rupa yang meliputi lukisan, patung, porselin, dan kriya, yang menjadi koleksinya. Ribuan koleksi yang bernilai historis itu keberadaannya tersebar di Istana Merdeka, Istana Negara, Istana Bogor, Istana Batu Tulis, Gedung Agung Yogyakarta, dan Istana Tapak Siring, Bali. Namun sayang keberadaan koleksi-koleksi itu kini masih dalam status kurang jelas, yaitu antara milik pribadi Soekarno sendiri atau sudah dihibahkan menjadi koleksi negara. Hal ini disebabkan antara situasi akhir pemerintahan Presiden Soekarno yang mengalami kekacauan, hingga akhirnya dia meninggalkan Istana tanpa membawa barang-barang milik pribadinya. Selain itu juga, tidak ada wasiat tertulis dari Soekarno tentang penghibahan karya seni yang telah dikoleksinya. Bahkan belum ada payung hukum yang memberikan status jelas tentang koleksi tersebut.

    Pecinta perempuan salah satu julukan yang tepat untuknya. Tak dapat dipungkiri memiliki wajah yang menarik, gayanya yang necis dapat membuat kaum hawa memujanya. Begitu juga sebaliknya, Soekarno juga byk memuja mereka. Oetari, Inggit, Fatmawati, Hartini, Ratna Sari Dewi, Haryati, Yurike Sanger, Kartini Manopo, dan Heldy Djafar adalah perempuan-perempuan yang sepengetahuan seluruh rakyat waktu itu hidup bersama Soekarno, sungguh dia tak pernah merasa kehilangan kebesarannya karena perempuan disekelilingnya. (bersambung)




  2. Chairil Anwar (1922-1949)

    Senin, 02 Februari 2009


    Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua orangtuanya bercerai, dan ayahnya sendiri menikah lagi. Setelah perceraian itu, saat lulus dari bangku SMA, Chairil bersama ibunya pergi ke Jakarta.

    Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

    Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta

    Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa menyebut nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.

    Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika kecil. Menurutnya, salah satu sifat Chairil pada masa anak-anak ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, bisa dikatakan tidak pernah diam.

    Rekannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”

    Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.

    Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.

    Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakit yang dideritanya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilisyang dideritanya.

    Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”


Diberdayakan oleh Blogger.