Buya Syafii, saat tertangkap kamera sedang menunggu KRL di kawasan Stasiun Tebet, pada 2017 lalu. |
Di Indonesia, saya mengetahui dua Buya, Buya Hamka dan Buya Syafii Maarif. Mereka adalah dua tokoh hebat bagi bangsa, cendekiawan muslim yang pemikiran-pemikirannya selalu menjadi patokan dan pegangan bagi pemerintah. Mereka pun juga sama-sama berasal dari dua organisasi keagamaan yang sama, yakni Muhammadiyah.
Sore itu Jumat (27/5), pukul 14.30, saya pulang kantor seperti biasa. Tapi sepanjang perjalanan ada yang tak biasa dari suasana Jogja hari itu. Rasanya lebih sibuk, tapi jalanan tetap ramai lancar.
Ya, sejak pagi berita wafatnya seorang tokoh bangsa menjadi pokok berita di sosial media, dan media online. Mungkin ini yang menjadi pengaruh terhadap suasana siang itu.
Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif, guru bangsa, dan juga Mantan Ketum PP Muhammadiyah meninggal dunia pada pukul 10.15 WIB, tepat di hari yang paling mulia, hari baik yang paling baik, Jumat. Wafatnya beliau menjadi pukulan bagi negara, karena kembali kehilangan sosok penting.
Berbicara mengenai beliau, saya mengetahui beliau saat saya menjadi mahasiswa Ilmu Sejarah UNY, pada 2008 silam. Beliau adalah guru besar di kampus tersebut (dulu bernama IKIP Yogyakarta), dan juga seorang dosen dari beberapa mata kuliah sejarah.
Sayangnya saya tak sempat bersua, karena saat saya masuk beliau sudah pensiun. Dan aktif sebagai seorang penulis dan pembicara di sejumlah seminar.
Walau tak pernah bertemu langsung, saya banyak mengenal beliau dari banyak tulisan beliau dan juga cerita dari senior yang sempat bertemu dengan beliau.
Buya Syafii dianggap sebagai tokoh kritis tetapi juga santun dan bersahaja. Beliau kerap menyampaikan kekhawatirannya terhadap Islam yang kerap menjadi isu pemilu dalam peta perpolitikan di Indonesia.
Salah satu artikelnya di Harian Republika, pada Januari 2004 lalu misalnya. Artikel berjudul Bangkit Secara Otentik, mengkritik dengan jelas para politisi yang bertarung pada Pemilu 2004.
"Sebagian besar politisi yang kemudian muncul umumnya punya karakter lemah dalam menghadapi godaan yang mengepung dari kiri dan kanan. Godaan yang dapat mengubah orang baik menjadi tak berdaya, karena kuatnya tarikan lingkungan yang korup. Dalam istilah agama, perbedaan antara halal dan haram menjadi kabur sama sekali, lantaran hati nurani telah dibiarkan tercemar, berangsur tetapi pasti.
Inilah yang berlaku selama ini, sampai-sampai nama Tuhan-pun dibajak semata-mata untuk meraih sejemput materi dan posisi."
Rasanya tulisan tersebut cukup relate dengan kondisi bangsa saat ini. Di mana agama menjadi bulan-bulanan untuk dapat menarik simpatisan.
Tak cuma itu, salah satu bukunya Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita (2010), juga menyinggung hal serupa. Dalam bukunya ini, beliau bahkan secara terbuka menulis persoalan ancaman kekerasan oleh kelompok Islam tertentu di Indonesia, yang disebutnya sebagai kelompok “Preman Berjubah.”
Serta masalah politik identitas sejak 11 tahun terakhir dengan kemunculan gerakan-gerakan radikal atau setengah radikal yang memakai baju Islam.
Tak bisa dijabarkan, bagaimana kiprah beliau pada pemikiran dan perkembangan Islam yang modern di dalam negeri. Tak bisa disebutkan bagaimana beliau tetap idependen dan mampu bertahan dalam idealisme berpikir dan bertindak di antara banyaknya "orang" yang menjual agama demi kekuasaan.
Kini Buya Syafii telah pergi untuk selamanya. Hanya karya dan pemikirannya yang masih bisa dinikmati dan diteruskan perjuangannya. Suasana yang berbeda hari itu, menandakan alam mengiringi dan mendoakan kepergian sosok sederhana itu.
Husnul Khotimah Buya, surga untuk mu di hari terbaik. Aamiin...
Sedayu-Bantul, Jumat 27 Mei 2022
Mendung~~