Kebudayaan adalah hasil dari akal, pikiran manusia dalam berbagai bentuk seperti kepercayaan, kesenian, atau adat istiadat lingkungan. Dengan kebudayaan kita belajar banyak hal, belajar bagaimana mengenal karakter sesama manusia, memperluas wawasan dengan kualitas yang baik. Itu yang didapatkan seorang wanita kelahiran Makasar Sulawesi, Anggi Minarni. Seorang tokoh penggiat kebudayaan Jogja yang juga direktur lembaga kebudayaan Karta Pustaka.
Baginya, kebudayaan
adalah jiwanya, memperkaya diri sendiri sebagai manusia, mengenal dunia jauh
lebih efektif melalui budaya. Bahkan dalam menilai sesuatu melalui sudut pandang
dari kebudayaan maka muncul semangat untuk menghargai perbedaan. Anggi
berpendapat, bentuk budaya itu adalah dari dulu, sekarang, dan yang akan
datang. Dulu menjadi ciri khas yang menjadi identitas yang harus dipelihara.
Sekarang kita menyiapkan untuk masa depan, maka kekayaan budaya sekarang akan
menjadi pusaka di kemudian hari.
Anggi sangat menikmati
perannya sebagai pelestari pusaka budaya. Apalagi setelah menjabat sebagai
direktur Karta Pustaka, Anggi makin memahami konsep pelestarian budaya. Ini
dilihat dari pemilihan bangunan-bangunan kantor Karta Pustaka yang kesemuanya
adalah bangunan tua, atau bangunan peninggalan kolonial.
Adapun alasan pemilihan
bangunan tersebut adalah adanya kebutuhan ruang besar untuk menyimpan koleksi
buku dan majalah yang mencapai 10.000 judul, lalu alasan kedua adalah untuk
mengkonservasi bangunan-bangunan tua itu. Bangunan yang digunakan dikonservasi,
sehingga masyarakat tidak melihat bangunan tua sebagai beban tetapi melihat
bangunan itu sebagai fungsi baru dengan menampilkan segala keistimewaannya
sebagai pusaka budaya.
Karta Pustaka memiliki
tiga visi, mempererat persahabatan Indonesia-Belanda melalui budaya, mendukung
kegiatan pendidikan masyarakat melalui budaya, dan terakhir mendorong
upaya-upaya pelestarian pusaka budaya. Salah satu bangunan yang pernah dipilih
Karta Pustaka sebagai kantor dan tempat kegiatan adalah di Kawasan Bintaran
Tengah.
Bangunan tersebut telah
10 tahun ditinggalkan kemudian direnovasi dan sekarang menjadi cagar budaya
kota Jogja. Lingkungan sekitar akhirnya ikut terdorong untuk bersama-sama
merawat pusaka budaya itu, maka Karta Pustaka juga diharapkan memberi inspirasi
masyarakat sekitar.
Anggi dan
teman-temannya mulai menyesuaikan situasi, sesuai dengan peta lembaga
kebudayaan yang ada di Jogja. Misalnya ketika kini banyak galeri seni
bermunculan, maka Karta Pustaka mengurangi tugas mendukung seniman lukis. Jogja
sendiri memiliki banyak sekolah musik, namun Karta Pustaka konsisten untuk memilih
musik klasik dan jazz sebab di Jogja belum ada wadah untuk menaungi musisi
klasik dan jazz mengekspresikan karya mereka di depan publik.
Maka Karta Pustaka
memberikan ruang bagi musisi-musisi itu untuk melakukan konser, setiap konser
yang ada selalu disertai workshop dan
diskusi sehingga ada ilmu yang dibagikan, “jadi tak hanya sekedar konser, tapi
harus ada pembelajaran didalamnya,” ungkap Anggi.
Cara lain Anggi untuk
membangun kesadaran publik akan pentingnya pelestarian pusaka budaya, adalah
dengan mendirikan organisasi budaya Jogja
Heritage Society (JHS) pada tahun 2000, bersama teman-temannya yang juga
penggiat budaya melakukan inventarisasi pusaka budaya di dua kelurahan di Kota
Gede, untuk menggali kembali pusaka budaya di wilayah itu. Kemudian sejak saat
itu menggelar heritage week yang
diselenggarakan di panggung Krapyak.
JHS pernah melakukan
kerja sama dengan organisasi pelestarian budaya dari Belanda, untuk membuat
pelatihan bagi guru SD mengenai pendidikan pusaka budaya yang nantinya akan
diajarkan kembali untuk siswa SD. Kemudian, guru-guru yang mendapatkan
pelatihan didorong untuk menulis buku mengenai keragaman pusaka budaya.
Masing-masing mereka
menulis pusaka budaya seperti sejarah Selokan Mataram, sejarah kawasan
Kotabaru, mengenai bakpia yang menjadi ikon Jogja, serta mengenai perabotan
anyaman yang berada di kabupaten Kulonprogo.
Selain melestarikan
pusaka budaya sendiri, Anggi juga turut aktif dalam kegiatan melestarikan dan
menggali kebudayaan Tionghoa yang ada di Jogja. Baginya kebudayaan itu adalah
milik bersama, budaya manapun yang masuk ke Indonesia yang sudah mengalami akulturasi
adalah bagian dari budaya kita juga.
Bersama seniman Didi
Ninik Thowok, Anggi menjadi bagian dari tim untuk mendesain event tahunan dari
kebudayaan Tionghoa. Seperti pekan budaya Tionghoa di kampung Ketandan, pada tahun
baru imlek. Setiap tahunnya ada tiga event kebudayaan Tionghoa, selain pekan
budaya, juga ada perayaan Pek Cun
yang tahun ini diselenggarakan di pantai Parangtritis, kemudian ada Moon Cake Festival yang tahun ini jatuh
tepat di bulan September pada tanggal 19 nanti.
Kegiatan budaya Tionghoa
tersebut untuk memperkenalkan kepada semua orang, juga kepada generasi muda
keturunan Tionghoa bagaimana budaya Cina itu sendiri. Di sisi lain untuk
menjaga keragaman budaya yang ada di Jogja. “Budaya-budaya yang masuk ke Jogja
sendiri justru memperkaya Jogja, sehingga Jogja menjadi seperti sekarang ini,”
imbuhnya.
Karir
Dari
Mayoret Hingga Direktur
Ayahnya yang seorang
perwira Angkatan Laut membuatnya harus hidup berpindah-pindah dari kota ke
kota. Lahir di Makasar, sempat hidup beberapa tahun di kota kelahiran sang ibu,
Manado. Terakhir, Surabaya menjadi kota dimana Anggi dibesarkan hingga mengenyam
pendidikan sampai SMU.
Sejak kecil Anggi
memang terlihat mencintai suatu kesenian, ikut berbagai macam kegiatan seperti
anggota paduan suara, bahkan sempat menjadi seorang dirigen dalam sebuah paduan
suara ketika dibangku SD. “Ayah sempat mengira saya akan menjadi seorang guru,”
tutur Anggi sambil tersenyum. Sebab di lingkungan tetangga Anggi-lah yang
mengajari anak-anak tetangga membaca, maupun menyanyi. Keahliannya tak hanya
dibidang musik melainkan juga olahraga, seperti menjadi atlet olahraga kasti
hingga sering mengikuti perlombaan dalam berbagai tingkat.
Kemampuannya dalam
memimpin juga terbukti ketika Anggi menjadi pemimpin gerak jalan/komandan Tonti
(peleton inti), pemimpin organisasi sekolah atau biasa yang disebut OSIS,
bahkan menjadi mayoret sebuah kelompok drum
band sekolah hingga mendapat gelar mayoret terbaik tingkat SMP. Anggi
mengaku sejak sekolah dia memang termasuk anak yang tidak bisa diam, doyan
mengikuti kegiatan apapun, sebab menurutnya kegiatan apapun yang dia ikuti dulu
kelak menjadi bekal dan membentuk kepribadiannya hingga sekarang.
Saat ditanya kegiatan
sekolah apa yang menyenangkan, Anggi menjawab menjadi anggota drum band sekolah, sebab dalam drum band benar-benar diajarkan
bagaimana bekerja dalam tim dan bersikap disiplin dengan tujuan mencapai suatu
prestasi.
Lulus SMU, Anggi hijrah
ke Jogja dan menjadi mahasiswa Sastra Inggris, UGM. Tahun 1992-lah karir
menjadi direktur Karta Pustaka dimulai. Saat mahasiswa, Anggi merupakan murid
kursus Bahasa Belanda di Karta Pustaka. Penawaran menjadi wakil direktur dia
dapatkan langsung dari direktur sebelumnya, Simadibrata. Adanya potensi sebagai
penggiat kebudayaan akhirnya di tahun 1993 Anggi diangkat menjadi direktur
menggantikan Simadibrata.
Menurut Anggi, Karta
Pustaka merupakan lembaga kebudayaan yang bersifat publik dan salah satu yang
tertua di Jogja. Berawal dari sebuah perpustakaan kecil tepatnya di tahun 1968
yang didirikan untuk memenuhi kebutuhan banyak orang yang masih menggunakan
bahasa Belanda, serta juga menyelenggarakan kursus Belanda. Peminatnya banyak,
namun fasilitas tidak ada seperti buku bacaan berbahasa Belanda, maka
Simadibrata yang juga pendirinya itu meminta bantuan berupa buku-buku atau majalah
berbahasa Belanda ke kantor kedutaan Belanda.
Nama Karta Pustaka
sendiri diberikan oleh Romo Dikarto seorang budayawan Jogja, yang berarti
perpustakaan yang berkembang. Berkembang tidak hanya dari banyaknya peminatnya
dan bertambahnya koleksi buku-buku berbahasa Belanda namun juga berkembang
menjadi wadah kegiatan budaya dan seni dari Indonesia-Belanda. Tahun 1970,
Karta Pustaka menyelenggarakan segala macam yang sifatnya pertunjukkan, seperti
konser, pentas teater, maupun pameran seni. “Banyak seniman terkenal yang
pernah berekspresi di depan publik langsung dari panggung Karta Pustaka, salah
satunya Alm. WS Rendra dengan Bengkel Teaternya,” ungkap Anggi.
Dianggap pionirnya
lembaga kebudayaan Jogja, lalu muncullah lembaga-lembaga yang sifat dan
tugasnya sama dengan Karta Pustaka, yakni seperti Taman Budaya, Lembaga
Indonesia-Prancis, dan lain-lain. Satu persatu lembaga kebudayaan berdiri untuk
menggairahkan panggung kesenian di Jogja.
Anggi selalu menjalani semuanya dengan sepenuh hati,
“ketika kita menjalani apa yang kita sukai, maka semua kegiatan yang ada bukan
lagi sebagai beban, melainkan sebuah kenikmatan sendiri.”
*juga ditulis di rubrik Sosok, Harian Jogja, edisi 15 September 2013